Dibanding jenis pakaian lainnya, sejarah kaos oblong sebenarnya belumlah
terlalu panjang. Kemungkinan besar kaos baru muncul antara akhir abad
ke-19 hingga awal abad ke-20.
Kaos berbahan katun biasanya dipakai oleh tentara Eropa sebagai pakaian
dalam (di balik seragam), yang fleksibel dan bisa dipakai sebagai
pakaian luar jika mereka beristirahat di udara siang yang panas. Istilah
“T-Shirt” (metafor yang mungkin diambil berdasar bentuknya) baru muncul
di Merriam-Webster’s Dictionary pada 1920, dan baru pada Perang Dunia
II ia menjadi perlengkapan standar dalam pakaian militer di Eropa dan
Amerika Serikat.
Kaos oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon
Brando dan James Dean yang memakai pakaian dalam tersebut untuk pakaian
luar dalam film-film mereka. Dalam A Streetcar Named Desire (1951)
Marlon Brando membuat gadis-gadis histeris dengan kaos oblongnya yang
sobek dan membiarkan bahunya terbuka. Dan puncaknya adalah ketika James
Dean mengenakan kaos oblong sebagai simbol pemberontakan kaum muda dalam
Rebel Without A Cause (1955).
Teknologi screenprint di atas kaos katun baru dimulai awal 60-an dan
setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk kaos baru, seperti tank
top, muscle shirt, scoop neck, v-neck, dsb. Berbagai bentuk, gambar atau
kata-kata dalam kaos merupakan pesan akan pengalaman, perilaku dan
status sosial. Kaos oblong mengkomunikasikan berbagai lokasi atau
identitas sosial: tempat (HRC, Borobudur, Bali, Yogyakarta, Kediri),
bisnis (Coca Cola, Yamaha, Suzuki), tim (MU, Inter Milan), konser atau
acara kesenian (Jakjazz), komoditas yang dianggap bernilai (VW, Harley
Davidson), sementara banyak juga yang mengkomunikasikan slogan (Dagadu,
Joger).
Fashion, Kaos dan Komunikasi
Meski sudah mulai mendunia sejak 50-an, konvensi mode dunia tetap saja
belum memasukkan kaos ke dalam kategori fashion . Kaos tetap saja
dianggap sebagai pakaian dalam yang tidak pantas dikenakan sebagai
pakaian luar. Memakai kaos masih juga dianggap sebagai tindakan yang
unfashion. Karena itu pada masa musik heavy metal mulai digemari
kalangan muda, mereka ini sengaja memilih seragam kaos oblong sebagai
bentuk penolakan terhadap konvensi arus utama mode dunia (high fashion).
Menyobek beberapa bagian dari kaos oblong bahkan merupakan bagian dari
gaya subkultur punk. Bagi mereka ini bentuk fashion adalah unfashion.
Perubahan dalam bahan dan teknologi produksi kaos turut berperan dalam
perubahan makna kaos dalam kehidupan sosial. Ditemukannya polyester dan
bahan-bahan fiber artifisial, bersamaan dengan diperkenalkannya bahan
drip-dry untuk pembuatan pakaian, penambahan variasi warna, gaya dan
tekstur, membuat kaos semakin diterima sebagai pakaian luar. Meski
begitu, dalam diferensiasi sistem fashion, hingga sekarang kaos masih
digolongkan dalam kategori low fashion (=unfashion?). Berbeda dengan
produk high fashion yang didesain dan dibuat secara khusus untuk
orang-orang khusus, hampir semua kaos merupakan low fashion yang
didesain untuk tujuan diproduksi secara massal.
Variasi kaos sebagai pakaian luar sekarang ini sangat beragam. Kaos
diproduksi baik dalam warna-warna primer maupun dalam kombinasi yang
lebih kompleks, beberapa di antaranya dilengkapi dengan saku untuk
menyimpan alat tulis, rokok, atau benda kecil lainnya. Dengan begitu
kaos tidak hanya dipakai oleh kalangan muda, laki-laki, atau mereka yang
berasal dari golongan bawah saja, tetapi juga dipakai oleh siapa saja.
Kita juga melihat kaos dipakai dalam berbagai aktivitas, dari bekerja
hingga mengisi waktu senggang, seperti jalan-jalan di pusat pertokoan
atau bermain golf.
Kaos oblong sekarang ini juga telah menjadi wahana tanda. Kaos,
sebagaimana pakaian lainnya, membawa pesan dalam sebuah “teks terbuka”
di mana pembaca atau penonton bisa menginterpretasikannya.
Betapapun klaim atas identitas atau status dalam kaos oblong ini
bersifat ambigu, dalam terminologi Umberto Eco (1979), representasinya
selalu bersifat undercoded , ia berhubungan secara synecdochical (satu
bagian dari kaos mewakili keseluruhan pribadi seseorang) dengan
pengalaman, relasi sosial, nilai, atau status yang diklaim secara
eksplisit atau implisit oleh pemakainya. Pesan yang disampaikan dalam
kaos bukanlah sekedar tentang tempat, kelompok, atau bisnis, tetapi
klaim atas status pemakainya. Seorang pemakai kaos oblong Dagadu
misalnya, bukan sekedar menyampaikan pesan bahwa kaos oblong yang
dipakainya adalah buatan Yogyakarta, melainkan juga mau mengumumkan
sebuah pengalaman yang menurut pemakainya cukup penting (ia seperti mau
mengatakan,”Mari saya beritahu pengalaman saya jalan-jalan di Yogya”).
Tetapi sekarang ini kaos oblong juga dipakai untuk mengkomunikasikan apa
yang bukan bagian dari identitas seseorang. Misalnya, penulis pernah
melihat seorang ibu muda yang sedang berjalan mengandeng anaknya. Si ibu
ini memakai kaos dengan tulisan “BITCH” di bagian depannya.
Apakah si ibu ini tidak mengerti bahasa Inggris atau penguasaan bahasa
Inggrisnya pas-pasan, sampai ia tidak mengerti bahwa bitch (anjing
betina) adalah umpatan yang sangat kasar yang biasa dipakai untuk
menyebut wanita jalang? Apalagi waktu itu ia sedang menggandeng anaknya.
Bukankah si anak ini menjadi cocok dengan umpatan lainnya, son of a
bitch ? Seandainya si ibu ini cukup mengerti bahasa Inggris, tentu yang
mau dikomunikasikannya adalah “saya bukan bitch “. Ini semacam
pendefinisian double negative, di mana seseorang mengklaim (secara
ragu-ragu) keanggotaan pada kelompok tertentu yang tidak eksis. Si ibu
tadi mengklaim keanggotannya pada kelompok “perempuan/ibu yang baik”
tanpa menghadirkan kelompok yang diklaimnya ini. Hal yang sama juga
terjadi pada kasus salah satu teman yang memakai kaos bergambar logo
Golkar untuk menunjukkan pengejekannya pada Golkar atau untuk mengatakan
bahwa ia bukan simpatisan Golkar.
Dengan semakin tumbuhnya industri periklanan, kaos merupakan bilboards
mini yang cukup efektif untuk mengkomunikasikan sebuah produk,
sebagaimana mengkomunikasikan diri atau identitas. Seringkali kaos
dijadikan iklan berjalan yang oleh pengiklan kadang-kadang dibagikan
secara gratis. Di Indonesia, adalah hal yang biasa banyak orang berebut
mendapatkan pembagian kaos dari OPP pada saat Pemilu (tak jarang juga
disertai pembagian “amplop”). Perusahaan-perusahaan sekarang ini juga
membuat kaos dengan nama atau logo perusahaan yang tertera di atasnya
(Coca Cola, Reebok, Nike, Wilson), dan menjualnya di toko-toko sebagai
pakaian produksi massal yang siap pakai. Bagi sejumlah besar pemakainya,
tentu memakai kaos oblong tidak dimaksudkan sebagai iklan, melainkan
sebagai indikasi status dan pendapatan pemakainya, loyalitas atau
kepercayaan pada satu produk. Ia juga merupakan suatu bagian dari
identitas diri, “Saya adalah penggemar Coca Cola”, “Seperti Michael
Jordan, saya memakai Nike (bagaimana dengan Anda?)”.
Kaos-kaos buatan perusahaan tertentu dianggap mewakili gaya hidup atau
selera yang khas, selain sekaligus si pemakai mengiklankan perusahaan
pembuatnya. Misalnya kaos bermerek Benetton, Ralph Lauren atau Calvin
Klein. Simbol-simbol tertentu pada kaos, seperti buaya kecil atau kuda
poni dan pemain polo kecil (dan berbagai variannya), juga sangat
penting. Simbol-simbol ini bukan hanya menunjukkan status pemakainya
yang mampu mengkonsumsi pakaian buatan desainer mahal, tetapi juga
status dalam sistem fashion itu sendiri (ketika kelompok desainer
Parisian juga memproduksi kaos, apakah kaos menjadi high fashion ?).
Kaos dan Kehidupan Modern
Lebih dari jenis pakaian yang lain, sejarah kaos bukan saja menunjukkan
cepatnya perubahan teknologi dalam industri garmen, melainkan juga
menunjukkan bagaimana fashion bernegosiasi dengan ruang dan waktu.
Kaos semula hanya diakui sebagai pakaian dalam. Dan dalam kaitannya
dengan pola penempatan ruang, sebagai pakaian dalam kaos adalah pakaian
privat . Tetapi kemudian dengan negosiasi lewat media massa dan penemuan
bahan serta model-model baru, kaos perlahan mulai tampil sebagai
pakaian publik. Karena itu, sejalan dengan kecenderungan kehidupan
modern, perjalanan kaos dari ruang privat ke ruang publik ini merupakan
ekspansi ruang privat atas ruang publik (privatisasi ruang publik).
Sementara dalam kaitannya dengan pola pemanfaatan waktu, kaos
menunjukkan bagaimana waktu senggang semakin berhasil mengekspansi waktu
yang lain dalam kehidupan sehari-hari. Kaos bisa dilihat sebagai bagian
dari leisure class , yang menunjukkan statusnya dengan pemanfaatan
waktu senggang sebesar-besarnya.
Persis seperti semboyan kaos oblong Dagadu ” Smart and Smile “, kaos
oblong mengajarkan bagaimana hidup modern harus dijalani: berpenampilan
cerdas, ringkas, tangkas, sekaligus santai. Hidup dengan segala
tetek-bengeknya yang rumit ternyata tidak harus dijalani dengan rumit
pula, melainkan bisa dijalani dengan “seperlunya dan santai”. Dalam
perspektif ini, papan pengumuman di kampus-kampus yang berbunyi
“Dilarang memakai kaos dan sandal” adalah warisan dari kehidupan masa
lalu yang “serius” dan sebentuk “pendisiplinan gaya”, yang tidak lagi
cocok dengan semangat smart and smile . Karena itu mahasiswa tetap saja
berkaos oblong di kampus, pertama-tama bukan untuk menunjukkan
perlawanan langsung mereka kepada aturan hidup yang lama, melainkan
untuk menunjukkan bahwa diri mereka sendirilah yang paling berhak atas
penampilannya. Dan bagaimana mereka harus berpenampilan, salah satunya
ditentukan oleh resepsi mereka terhadap media massa, yang juga
mengajarkan smart and smile (misalnya semboyan iklan telepon genggam
Nokia seri 3210, “Begitu kecil, begitu cerdas”). Jadi hidup modern
dijalani dengan semangat mengisi waktu senggang. Inilah yang disebut
estetikasi kehidupan sehari-hari yang mencirikan kehidupan modern (di
mana “yang etis” bergeser menjadi “yang estetis”). Semangat kehidupan
modern sebenarnya adalah semangat kaos oblong.